
Penulis: Muhammad Al-Bathriq
Chapter 1
Dubai City 21 April 2039.
Suara pendingin ruangan memenuhi ruang kerjaku, diiringi oleh bunyi arloji antik dan tablet terbaru milikku, aku menghela nafas sambil mengusap pelipis, sekarang aku sedang pusing, bagaimana tidak? Hanya sahamku turun tujuh persen, ini semua karena memanasnya perang di Timur Tengah yang menyebabkan turunnya saham di efek bursa dunia.
Tok! Tok! Tok!
Tiba-tiba pintu ruangan kerjaku yang berada di lantai 47 dari 850 lantai yang ada di gedung perusahaanku di ketuk.
“Masuk.” Kataku persis diujung kalimat masuklah seorang wanita paruh baya, ia adalah Shera, sekretarisku.
“Selamat siang tuan Barack.” Sapanya.
“Iya ada apa Shera?” Aku menjawab sapaan dengan Shera pertanyaan.
“Maaf tuan, karena kelalaianku, tujuh kapal perusahaan kita di serang di beberapa titik.” Jelasnya.
“Jelaskan secara rinci.” Perintahku.
“Dua kapal kontainer kode E-2C17 di serang pembajak di perairan Filipina saat menghantarkan 14 kontainer ke Taiwan, keadaan awak kedua kapal itu belum diketahui pasti, empat kapal tanker yang mengangkut minyak dari Kuwait terjebak di laut Okhotsk, Jepang karena memanasnya perang, satu kapal Feri tenggelam di selat Malaka, Indonesia karena badai, kerugian kita, kerugian mencapai sekitar 4.0000 dolar per hari karena keterlambatan kapal kita” Jelas Shera panjang lebar.
“Baiklah, kamu boleh pergi meninggalkan ruanganku.” Aku mengusirnya secara halus.
“Hah! Ada-ada saja cobaanku, setiap hari, tiada hentinya.” Aku berbicara sambil melihat arlojiku, sudah menunjukkan pukul setengah tiga, Barack memutuskan untuk pulang.
***
Sesampainya aku di rumah, aku di sambut oleh anak dan istriku, aku meminta agar beri aku waktu untuk membersihkan diri lalu istirahat, setelah itu aku terbaring pulas di kasur empuk, ketika diriku hampir menuju ke alam mimpi, tiba-tiba telepon pintar itu berdering, ketika aku melihat siapa yang menelpon, aku bingung, karena tidak ada pemilik namanya, aku takut kalau ini adalah pembajakan, apakah berlu ini diangkat? Aku bertanya-tanya dari dalam hati, setelah aku pikir sebentar, aku akhirnya memutuskan untuk mengangkat telepon tersebut.
“Halo?” Sapaku.
“Ayah meninggal, Nak.” tanpa aba-aba dari seberang sana berteriak kencang sekali lantas menangis meraung-raung.
“Maaf, ini siapa?” Tanyaku heran.
“Kamu Barack, kan? Barack de Vasco?” Bukannya menjawab, orang iyu malah balik bertanya.
“Iya.” Jawabku.
“Ini ibu, nak. Ini Ibumu!”
“Oh ibu? Ada apa bu?”
“Ayah meninggal, nak, tadi malam.” Lalu ibu menangis terisak.
“Lantas?” Tanyaku tidak perduli.
“Pulang lah, nak. Jadi imam untuk menshalatkan jenazah ayahmu.”
“Maaf bu, Aku sedang sibuk, aku kirim uang saja ya.” Jawabku berusaha membujuk ibu.
“Sesibuk itukah kamu sampai tidak bisa pulang saat ayahmu meninggal?” Ibu mulai menaikkan nadanya dan mulai cemas.
“Memang.” Jawabku santai.
“Sungguh anak durhaka! Semoga Allah melaknatmu!”
Telfon terputus.
-Bersambung-
Leave a Reply